Bumi tempat kita hidup ini yang dalam berbagai sastra disebut Pertiwi adalah sumber kehidupan bagi semua makhluk hidup di dalamnya. Pertiwi atau dalam keseharian lebih kita sebut sebagai tanah adalah sumber kemakmuran bagi semua makhluk hidup. Tanah menjadi media bagi tumbuhan untuk bisa hidup, tumbuhan tersebut menghasilkan makanan sehingga semua makhluk hidup bisa menjaga keberlangsungan hidupnya di bumi ini. Tanpa tanah maka tidak ada kehidupan, ada kehidupan berarti ada energi di sana. Tentu energi alam semesta yang maha dahsyat terbukti adanya bentuk kehidupan. Benih yang ditaburkan di tanah lalu tumbuh berkembang dan menjadi tumbuhan yang menghasilkan makanan bagi kita adalah bukti adanya energi kehidupan di dalam tanah, benda-benda yang dipendam di dalam tanah menjadi terurai juga contoh adanya energi alam yang menyebabkan terjadinya penguraian materi. Dalam sistem kelistrikan kita mengenal adanya “grounding” yang berfungsi untuk menstabilkan aliran listrik sehingga mengurangi berbagai resiko kerusakan akibat aliran listrik yang kemungkinan naik turun. Contoh logika di atas sebagai bukti yang tidak terbantahkan bahwa tanah (Pertiwi) adalah sumber energi alam semesta yang menjadi penopang utama kehidupan semua makhluk hidup di bumi.
Para leluhur kita selain memanfaatkan tanah untuk bercocok tanam juga memanfaatkannya dalam berbagai hal lainnya. Misalnya membuat genthong (wadah air untuk kebutuhan sehari-hari) dari tanah, genthong yang dibuat dari tanah memiliki energi yang dapat memurnikan air, menetralisir berbagai bakteri dalam air, pun juga mengembalikan komposisi kristal-kristal air sehingga air menjadi layak konsumsi. Perlu diperhatikan jika kristal-kristal air tidak beraturan akibat perlakukan air yang kurang tepat maka manfaat air tidak akan maksimal saat kita konsumsi.
Para petani di kebun atau sawah karena sering bersentuhan dengan tanah maka rata-rata badannya lebih sehat dan umurnya pun lebih panjang. Seberapa sering mereka bersentuhan dengan tanah maka semakin badan mereka mendapatkan aliran energi dari tanah sehingga badan mereka ter-energized, dan terciptalah harmoni energi dalam badan, karena energi dalam badan menjadi harmoni lebih dahulu maka pemikirannya pun menjadi harmoni alias tidak banyak berpikir yang neko-neko.
Dalam laku batin para leluhur jaman dahulu memanfaatkan tanah untuk kumkum selama waktu tertentu, atau mandi lumpur. Tradisi kumkum jaman dahulu bukanlah untuk mendapatkan semacam kesaktian diri belaka, melainkan suatu upaya untuk mengharmonikan energi dalam tubuh sekaligus mendapatkan aliran energi yang berlimpah karena tanah adalah sumber energi yang luar biasa. Tradisi kumkum ini biasa dilakukan di tanah berlumpur misalnya sawah atau lainnya yang memungkinkan. Seperti penuturan seorang Romo Resi yang telah beberapa kali menjalani laku kumkum di lumpur ketika mau menjalankan ritual tertentu yang beliau bilang ritual itu tidak ringan dan butuh persiapan energi yang besar untuk menjalankannya.
Di era modern sekarang banyak Spa yang membuka layanan mandi lumpur, atau luluran lumpur. Hal ini dimaksudkan untuk membuat badan menjadi segar kembali dan penuh vitalitas. Jadi tradisi kumkum jaman dahulu sekarang sudah tergantikan dengan cara yang lebih simpel yaitu mandi lumpur dengan fasilitas yang modern.
Penulis setiap pagi setelah bangun tidur sekitar jam 4-5 pagi begitu kaki menyentuh lantai lalu berdoa “Aum Pertiwi Ya Namah Swaha” setelah itu langsung keluar rumah tanpa alas kaki dan menatap ke angkasa menikmati apa yang ada di angkasa sambil merasakan sejuknya tanah yang dipijak dan aliran energi tanah yang mengalir melalui chakra-chakra di kaki. Dan ternyata sangat bermanfaat bagi kesehatan badan.
Itulah alasannya mengapa beberapa Resi di Jawa lebih memilih duduk di tanah beralaskan tikar (bahkan adakalanya tidak beralaskan sama sekali) saat melakukan pemujaan agar badannya sedekat mungkin dengan tanah atau bersentuhan langsung dengan tanah sehingga badan mendapatkan aliran energi yang berlimpah yang mendukung keberlangsungan pemujaan. Dengan badan yang harmoni, dengan energi badan yang berlimpah maka proses ritual maupun spiritual tidak akan mengalami banyak hambatan yang berarti. Selain itu badan Sang Resi yang semakin dekat dengan tanah akan menjadi penghantar yang semakin sempurna penyatuan antara energi Akasa dengan Pertiwi. Penyatuan energi Pertiwi dengan Akasa inilah bagaikan penyatuan antara Siwa dengan Shakti yang melahirkan penciptaan alam semesta. Dalam tradisi karesian Jawa (kemungkinan juga Sunda) tidak ada sesana (aturan wajib) bahwa seorang resi harus duduk di panggung saat melakukan pemujaan, duduk di panggung itu hanyalah bentuk penghormatan umat kepada para waskita tersebut. Salah besar jika ada yang beranggapan bahwa seorang resi yang setiap saat atau saat pemujaan duduk di tanah itu mengotori kesucian dirinya, justru itu membuat badan sang resi menjadi kokoh dan berlimpah energi. Tidak ada kesucian yang luntur hanya gara-gara duduk di bawah dekat dengan tanah atau tanpa alas sama sekali.
Rahayu Sagung Dumadi
VrilSociety
Aguswi