Beranda

Selasa, 16 April 2024

MENGAPA PARA RESI DI JAWA (MUNGKIN JUGA SUNDA) LEBIH SERING MEMILIH DUDUK DI BAWAH DI ATAS TANAH BERALASKAN TANAH ATAU BAHKAN TIDAK BERALASKAN SAMA SEKALI SAAT MELAKUKAN PEMUJAAN?

 Bumi tempat kita hidup ini yang dalam berbagai sastra disebut Pertiwi adalah sumber kehidupan bagi semua makhluk hidup di dalamnya. Pertiwi atau dalam keseharian lebih kita sebut sebagai tanah adalah sumber kemakmuran bagi semua makhluk hidup. Tanah menjadi media bagi tumbuhan untuk bisa hidup, tumbuhan tersebut menghasilkan makanan sehingga semua makhluk hidup bisa menjaga keberlangsungan hidupnya di bumi ini. Tanpa tanah maka tidak ada kehidupan, ada kehidupan berarti ada energi di sana. Tentu energi alam semesta yang maha dahsyat terbukti adanya bentuk kehidupan. Benih yang ditaburkan di tanah lalu tumbuh berkembang dan menjadi tumbuhan yang menghasilkan makanan bagi kita adalah bukti adanya energi kehidupan di dalam tanah, benda-benda yang dipendam di dalam tanah menjadi terurai juga contoh adanya energi alam yang menyebabkan terjadinya penguraian materi. Dalam sistem kelistrikan kita mengenal adanya “grounding” yang berfungsi untuk menstabilkan aliran listrik sehingga mengurangi berbagai resiko kerusakan akibat aliran listrik yang kemungkinan naik turun. Contoh logika di atas sebagai bukti yang tidak terbantahkan bahwa tanah (Pertiwi) adalah sumber energi alam semesta yang menjadi penopang utama kehidupan semua makhluk hidup di bumi.

Para leluhur kita selain memanfaatkan tanah untuk bercocok tanam juga memanfaatkannya dalam berbagai hal lainnya. Misalnya membuat genthong (wadah air untuk kebutuhan sehari-hari) dari tanah, genthong yang dibuat dari tanah memiliki energi yang dapat memurnikan air, menetralisir berbagai bakteri dalam air, pun juga mengembalikan komposisi kristal-kristal air sehingga air menjadi layak konsumsi. Perlu diperhatikan jika kristal-kristal air tidak beraturan akibat perlakukan air yang kurang tepat maka manfaat air tidak akan maksimal saat kita konsumsi.

Para petani di kebun atau sawah karena sering bersentuhan dengan tanah maka rata-rata badannya lebih sehat dan umurnya pun lebih panjang. Seberapa sering mereka bersentuhan dengan tanah maka semakin badan mereka mendapatkan aliran energi dari tanah sehingga badan mereka ter-energized, dan terciptalah harmoni energi dalam badan, karena energi dalam badan menjadi harmoni lebih dahulu maka pemikirannya pun menjadi harmoni alias tidak banyak berpikir yang neko-neko.

Dalam laku batin para leluhur jaman dahulu memanfaatkan tanah untuk kumkum selama waktu tertentu, atau mandi lumpur. Tradisi kumkum jaman dahulu bukanlah untuk mendapatkan semacam kesaktian diri belaka, melainkan suatu upaya untuk mengharmonikan energi dalam tubuh sekaligus mendapatkan aliran energi yang berlimpah karena tanah adalah sumber energi yang luar biasa. Tradisi kumkum ini biasa dilakukan di tanah berlumpur misalnya sawah atau lainnya yang memungkinkan. Seperti penuturan seorang Romo Resi yang telah beberapa kali menjalani laku kumkum di lumpur ketika mau menjalankan ritual tertentu yang beliau bilang ritual itu tidak ringan dan butuh persiapan energi yang besar untuk menjalankannya.

Di era modern sekarang banyak Spa yang membuka layanan mandi lumpur, atau luluran lumpur. Hal ini dimaksudkan untuk membuat badan menjadi segar kembali dan penuh vitalitas. Jadi tradisi kumkum jaman dahulu sekarang sudah tergantikan dengan cara yang lebih simpel yaitu mandi lumpur dengan fasilitas yang modern.

Penulis setiap pagi setelah bangun tidur sekitar jam 4-5 pagi begitu kaki menyentuh lantai lalu berdoa “Aum Pertiwi Ya Namah Swaha” setelah itu langsung keluar rumah tanpa alas kaki dan menatap ke angkasa menikmati apa yang ada di angkasa sambil merasakan sejuknya tanah yang dipijak dan aliran energi tanah yang mengalir melalui chakra-chakra di kaki. Dan ternyata sangat bermanfaat bagi kesehatan badan.

Itulah alasannya mengapa beberapa Resi di Jawa lebih memilih duduk di tanah beralaskan tikar (bahkan adakalanya tidak beralaskan sama sekali) saat melakukan pemujaan agar badannya sedekat mungkin dengan tanah atau bersentuhan langsung dengan tanah sehingga badan mendapatkan aliran energi yang berlimpah yang mendukung keberlangsungan pemujaan. Dengan badan yang harmoni, dengan energi badan yang berlimpah maka proses ritual maupun spiritual tidak akan mengalami banyak hambatan yang berarti. Selain itu badan Sang Resi yang semakin dekat dengan tanah akan menjadi penghantar yang semakin sempurna penyatuan antara energi Akasa dengan Pertiwi. Penyatuan energi Pertiwi dengan Akasa inilah bagaikan penyatuan antara Siwa dengan Shakti yang melahirkan penciptaan alam semesta. Dalam tradisi karesian Jawa (kemungkinan juga Sunda) tidak ada sesana (aturan wajib) bahwa seorang resi harus duduk di panggung saat melakukan pemujaan, duduk di panggung itu hanyalah bentuk penghormatan umat kepada para waskita tersebut. Salah besar jika ada yang beranggapan bahwa seorang resi yang setiap saat atau saat pemujaan duduk di tanah itu mengotori kesucian dirinya, justru itu membuat badan sang resi menjadi kokoh dan berlimpah energi. Tidak ada kesucian yang luntur hanya gara-gara duduk di bawah dekat dengan tanah atau tanpa alas sama sekali.

 

Rahayu Sagung Dumadi

VrilSociety

Aguswi

               

 

Minggu, 22 Oktober 2023

Warna Hitam Dalam Tradisi (Baju) Jawa dan Sunda

Dalam keilmuan Jawa, warna hitam pada baju tradisi Jawa adalah lambang kesempurnaan. Kesempurnaan seperti apa yang dimaksud?

Dalam kesusastraan Veda dijelaskan bahwa dunia ini pada awalnya tidak ada apapun, kosong dan hanya ada gema suara AUM. Dapat diasumsikan bahwa kondisinya adalah Maha Kegelapan. Kata “kegelapan” disini tidak mengacu kepada hal-hal yang negatif melainkan untuk mendeskripsikan sesuatu kekosongan dari apapun yang tidak dapat dipikirkan. Inilah yang disebut alam Sunya (baca: sunia) yang dalam kesusastraan Jawa disebut Suwung. Karena itulah masyarakat Jawa familiar menyebut Sang Pencipta jagad raya ini sebagai Sang Hyang Suwung. Maka warna yang identik dengan gelap adalah warna Hitam.

Warna hitam pada baju tradisi yang dipakai masyarakat Jawa dan Sunda memberi pesan bahwa dalam menghubungkan diri pribadi dengan Diri Agung (Sang Pencipta atau Sang Hyang Suwung) maka kita harus men-Sunia-kan atau menyuwungkan atau mengosongkan diri dari segala bentuk gejolak indriawi atau gejolak rasa lainnya sehingga pada saat diri kita mencapai kondisi Sunya atau Suwung maka akan menyerap berbagai pengetahuan dari Sang Hyang Suwung itu sendiri. Tanpa bisa men-Sunia-kan diri maka aliran deras pengetahuan dari alam semesta tidak akan bisa membanjiri diri ini.

Mari kita jelaskan secara logika. Misalnya sebuah botol kaca dihampakan dengan sebuah alat sehingga menjadi hampa udara lalu ditutup. Coba tutup botol kaca itu dilepas maka dengan cepat udara yang diluar botol akan terserap ke dalam botol dan botol menjadi terisi dengan udara bebas. Peristiwa ini membuktikan bahwa kehampaan botol memiliki energi serap yang besar sekali dengan dengan secepatnya botol terisi udara. Nah, ketika kita mampu menghampakan atau men-Sunia-kan diri maka kita akan memiliki daya serap yang sangat tinggi terhadap pengetahuan di alam semesta ini. Kondisi Sunia atau Suwung inilah dalam Yoga Sutra disebut kondisi Samadhi. Dan inilah yang dilakukan dan dicapai oleh para waskita atau para kaum bijaksana jaman dahulu sehingga mereka semua mampu menuliskan pengetahuan-pengetahuan yang berharga yang kita warisi hingga saat ini.

Itulah makna warna Hitam dalam tradisi (baju) Jawa dan Sunda.

 

Rahayu Sagung Dumadi

Aguswi            

SESAJI (BANTEN) SEDERHANA, "RAME TIRAKATE"

 Sebuah upacara besar dengan banyak sesaji bukanlah menjadi penentu bahwa itu akan menjadi upacara yang Sattwika, upacara yang sudah pasti berhasil mencapai tujuannya. Begitu juga sebaliknya, upacara yang sederhana tidak bisa dikategorikan sebagai upacara yang Tamasika yaitu upacara yang penuh dengan kekurangan. Jika ada yang berpikir bahwa upacara yang besar dengan sesaji yang “wahhhh” sekali adalah upacara yang sudah pasti sukses mencapai tujuannya maka itu pikiran “ngawur, bener karepe dewe”.

Para Mpu pembuat keris jaman dahulu saat memulai membuat keris entah dengan cara dipijat-pijat atau ditempa logamnya selalu dibarengi dengan laku spiritual tertentu hingga keris pusaka itu jadi. Dan setelah keris itu jadi tidak ada upacara khusus seperti misalnya proses “energized” (pengisian energi), karena energi itu mengisi keris saat keris itu mulai dibuat hingga selesai dibuat yang diperkuat dengan laku spiritual Sang Mpu. Tidak seperti sekarang, barang apapun termasuk sesaji dijadikan dulu baru diproses “urip” dengan ritual; tidak ada yang salah namun hasilnya akan sangat berbeda.

Dulu leluhur kami misal nenek dan orang tua kami bahwa jika kita memiliki tujuan yang ingin dicapai tidak boleh lupa sebelumnya sebaiknya puasa, nenek bilang “poso lhee ben kabul kajate” (puasa nak, biar tercapai yang diinginkan). Tidak seperti sekarang berdoa di sana sini sono ke berbagai tempat suci dan doanya agar apa yang dicita-citakan tercapai. Proses “inside” (dalam diri) sangat kurang, dan hanya ramai proses “outside” (luar diri). Jadi dalam hal ini pemakaian sesaji lebih banyak namun “tirakate” (brata nya) sangat kurang. Kualitas batiniah yang terbentuk sudah pasti akan sangat berbeda. Para leluhur di Jawa mengajarkan agar kita sering “tirakat” (puasa) dengan harapan diri kita menjadi bersih, jauh dari kesialan, jauh dari ketidakberuntungan. Sehingga saat diri kita sudah bersih maka untuk mencapai tujuan diharapkan tidak ada hambatan dan rintangan yang berarti. Artinya diri kita dari dalam dipersiapkan terlebih dahulu dengan baik agar pantas menjadi wadah sesuatu yang akan dicapai. Yang disebut tirakat (puasa) itu tidak hanya membatasi makan dan minum, akan tetapi juga menjaga pembicaraan, menjaga pemikiran kita, menjaga perilaku kita; agar jangan sampai ada pembicaraan, pemikiran dan perilaku yang tidak pantas. Itulah konsep berpikir leluhur Jawa yang sungguh hebat. Karena itulah dahulu tahun 90-an penulis sebelum mendaftar ke sekolah yang diimpikan puasa terlebih dahulu selama beberapa hari. Dan astungkarah tercapailah yang diinginkan. Saat itu sama sekali tidak seperti sekarang yang ngaturang pioning sana sini sono bahkan ada yang melaksanakan upacara khusus untuk itu. Tidak ada yang salah namun kondisi batin maupun psikologis yang terbentuk akan sangat berbeda sekali.

Begitu juga dengan upacara apapun di pura dahulu, para sesepuh dan lainnya banyak yang puasa pada saat hari pelaksanaan upacara. Kami pernah melaksanakan upacara “Entas-Entas” yaitu upacara Dewa Pitra Pratistha untuk para leluhur kami yang dipuput oleh seorang Romo Resi. Setelah dijemput di bandara lalu sesampainya di rumah tujuan kami menyajikan makanan lalu Beliau bilang “aku isih poso yo mas nganti telung dino sak wise rampung upacara, aku mung ngombe banyu putih wae” (saya masih puasa ya mas sampai tiga hari sesudah selesainya upacara, saya hanya minum air putih saja). Beliau lanjut mengatakan “aku wis mulai poso petang dino kepungkur” (saya sudah mulai puasa sejak empat hari lalu). Dan kita memakai sesaji yang cukup sederhana dan penulis sendiri dibantu seorang pinandhita yang membuatnya. Upacara-upacara yang sekelas dengan ini kita lihat diberbagai tempat banyak yang sesajinya “wahh” lumayan untuk memenuhi deretan-deretan tatanan meja yang berjajar. Upacara di setiap pura atau dimanapun haruslah dikemas dengan sangat bijaksana dengan berbagai pertimbangan atau perspektif. Tidak karena ada biaya banyak dan melimpah lalu upacara dibikin besar. Sisi pendidikan, pemberdayaan ekonomi, peningkatan sumber daya manusia, dan lain-lain harus juga menjadi pertimbangan. Namun adakalanya ternyata ada saja orang yang gila yang mengatakan “ini supaya bethara-betharinya turun semua maka harus dibikin besar”. Adalagi sebuah tempat yang umatnya hanya belasan KK, upacara yang dilaksanakan di sana disetting dan dibiayai dari luar oleh orang-orang yang punya kekuatan finansial dan karena setahun dua kali maka cukup menguras tenaga umat setempat yang kenyataannya hidupnya sebagai “wong cilik” dan tidak berani bicara hanya “iya iya saja” meski dalam hati berontak. Andai dana-dana yang ada itu sebagian dimanfaatkan untuk pemberdayaan ekonomi atau pendidikan masyarakat setempat bukankah itu lebih sangat bijaksana?

Sesaji itu posisinya sebagai sarana yang tidak mutlak harus ada semua dan berbagai tempat harus sama. Sama sekali tidak seperti itu. Coba lihat anak SD yang masih kelas awal bagaimana mereka berhitung? Ada yang menggunakan jarinya dan ada juga yang memakai bulatan-bulatan telur atau bola juga lainnya. Tanpa bantuan jari atau bulatan-bulatan itu mereka akan kesulitan untuk berhitung. Sehingga jari atau alat bantu lainnya berposisi sebagai sarana saja, bukan tujuan mereka berhitung. Ketika mereka sudah naik tingkat dikelas atas maka dalam berhitung mereka sudah tidak perlu lagi sarana jari-jari atau gambar bulatan-bulatan. Mengapa? Karena proses berhitung itu sudah berkembang dalam pikiran mereka. Begitu juga dengan sesaji atau banten baik yang sederhana atau banyak posisinya adalah sebagai sarana saja, bukan menjadi tujuan sebuah upacara. Jadi leluhur di Jawa yang mengajarkan agar kita sering “tirakat” (puasa) dengan maksud agar perkembangan rohani itu terjadi di dalam diri, karena memang rohani tidak bisa dikembangkan dengan lebih baik jika dilakukan dari luar diri.


Rahayu Sagung Dumadi
Aguswi

"Nongkrong" Di Pura Itu Menyehatkan, Apalagi Jika Melakukan Sadhana

Apa yang kita rasakan saat kita berada dekat perapian yang sedang menyala-nyala? Pasti kita akan merasakan hangat atau bahkan panas. Mengapa? Karena kita berada dalam jangkauan pancaran energi panas yang bersumber dari perapian tersebut. Kecuali saat dekat perapian itu kita memakai baju atau selimut yang tebal maka kita tidak akan merasakan hangatnya atau panasnya perapian itu karena energi panasnya terhalang oleh baju kita yang tebal sehingga energi panas tidak sampai menyentuh kulit.

Begitu juga saat kita “nongkrong” di tempat sakral misalnya pura, maka kita akan terpapar oleh energi yang terpancar dari tempat itu. Idealnya sebuah pura itu penuh dengan pancaran energi baik, kecuali ada sesuatu yang kurang tertata yang menyebabkan sistem energi yang kacau. Katakanlah sebuah pura itu energinya sangat baik, maka siapa pun yang ada di pura itu idealnya terpapar energi yang sangat baik tersebut. Energi itu akan bersenyawa dengan energi badan siapapun yang ada dalam radius paparan energi tersebut. Dan dampaknya terhadap badan (bukan hanya badan fisik) kita sangat bagus. Namun lain cerita jika diri kita berselimut tebal dengan sifat keangkuhan, keegoisan, kesombongan, ketamakan, kedengkian, dan lain-lain; maka paparan energi baik dari pura itu tidak akan bisa merasuk dalam lapisan-lapisan badan kita, apalagi bersenyawa dengan energi badan kita. Mengapa terjadi demikian? Karena semua sifat-sifat buruk dalam diri berposisi sebagai blokir dalam lapisan-lapisan badan kita terhadap paparan energi baik dari pura tersebut. Apalagi kalau tidak hanya “nongkrong” tetapi melakukan sadhana di tempat itu maka akan sangat menguntungkan diri kita. Energi baik yang terpancar dari tempat itu akan lebih sempurna bersenyawa dengan energi badan kita. Dan bila lapisan-lapisan badan kita berlimpah energi maka sistem dalam badan kita akan berfungsi dengan sempurna juga karena sistem dalam badan hanya akan berfungsi optimal jika kebutuhan energinya terpenuhi. Maka sehatlah diri kita baik fisik maupun mental. Bebaskan diri dari sifat-sifat buruk maka diri kita akan terbuka menganga terhadap alam semesta untuk mengalirkan energinya.

Pura sebagai sebuah sistem energi, dan sebagian orang melebih-lebihkan sebagai “rumah bethara” itu soal keyakinan pribadi dan sah-sah saja. Dari awal hingga akhir pembangunannya melalui berbagai tahapan yang sebenarnya dalam rangkai membangun sebuah sistem energi. Karena itulah ada ruang-ruang atau tempat-tempat khusus untuk kegiatan yang khusus juga. Misal kegiatan yang sifatnya sosial maka hanya boleh dilakukan di ruang yang khusus sesuai peruntukkannya, tidak akan mungkin boleh dilakukan di tempat atau ruang dimana khusus untuk melakukan pemujaan. Dalam suatu ruang yang  didesain secara khusus untuk suatu sistem energi, maka itu akan memudahkan proses persenyawaan energi manusia yang saat di dalam ruang itu dalam melakukan proses hubungan dengan alam semesta (energi).

Padmasana….. dari sisi keyakinan memang diyakini sebagai hal tertentu dan berfungsi tertentu, dan setiap pribadi bisa saja berbeda dalam meyakininya. Namun dalam konsep Sains sebenarnya adalah antena pemancar sekaligus receiver (penerima) dari gelombang-gelombang energi yang terbentuk. Kita lihat dalam pembangunannya pasti yang ada di dasar padmasana itu adalah apa yang kita sebut “dhatu” yang dibuat atau ditata dari berbagai material tertentu misalnya logam, bebatuan, mineral, dll. Persenyawaan antar berbagai unsur logam, bebatuan, mineral, dan lainnya itu menghasilkan suatu pola atau sistem energi yang memperkuat sistem energi lainnya. Artinya “dhatu” yang ditanam di dasar padmasana berfungsi sebagai Booster dari fungsi Padmasana itu sendiri. Manusia yang melakukan pemujaan di sana memang dengan pikirannya sendiri memancarkan gelombang-gelombang energinya dari proses pemujaannya, namun kemampuan pikiran itu bisa saja sangat terbatas, ada orang yang kemampuan pikirannya kuat namun juga ada yang lemah. Dan dengan adanya Padmasana itu menjadi diuntungkan karena sistem energi dari Padmasana itu akan menangkap gelombang energi yang terpancar dari pikiran kita dan diperkuat lalu dipancarkan kembali oleh Padmasana ke alam semesta dengan lebih powerfull. Dan sebagai receiver maka Padmasana juga menangkap energi tertentu dari alam semesta lalu diperkuat dan dipancarkan ulang sehingga bisa ditangkap oleh sistem energi tubuh manusia. 

 

Rahayu Sagung Dumadi

Aguswi

Kamis, 12 Oktober 2023

Benarkah Kematian Orang Lain Menyebabkan Cuntaka Bagi Kerabat Untuk Beberapa Waktu Lamanya?

 Untuk mengetahui jawabannya maka kita harus menguraikan berbagai lapisan badan manusia kita. Dan terkait lapisan-lapisan badan ini maka Panca Mayakosha adalah konsep yang paling detil tentang lapisan-lapisan badan.

 

Ana Mayakosha

Ini adalah lapisan badan yang kita kenal sebagai badan fisik. Ibarat sebuah komputer lapisan badan ini sebagai hardware dari lapisan badan lainnya. Lapisan badan ini terbentuk dari sari-sari makanan yang kita makan setiap hari. Seluruh bagian badan fisik dari kaki hingga kepala semuanya terbentuk dari sari-sari makanan yang masuk dan terserap ke dalam sistem tubuh kita. Lebih detil lapisan badan Ana Mayakosha ini terdiri dari 5 unsur yang kita kenal sebagai Panca Mahabhuta yaitu unsur padat (pertiwi), unsur cair (apah), unsur udara (bayu), unsur panas/cahaya (teja), dan unsur ruang (akasa). Bagian badan yang termasuk unsur padat misalnya: gigi, tulang, rambut, daging, otot, kuku, dll. Yang termasuk unsur cair misalnya: darah, lendir, enzim, air kencing, air liur, dll. Yang termasuk unsur udara misalnya: nafas, gas-gas dalam tubuh, bau badan, dll. Yang termasuk unsur panas/cahaya misalnya: suhu badan, warna kulit, dll. Yang termasuk unsur ruang misalnya: rongga mulut, rongga hidung, rongga perut, rongga tenggorokan, dll.

 

Apa yang bisa menyebabkan lapisan badan Ana Mayakosha ini kotor, atau terganggu sistemnya (kinerjanya)? Debu, virus atau bakteri penyebab penyakit, pola makan yang tidak sehat, pola hidup yang tidak sehat.  

 

Mano Mayakosha

Kita mengenal juga lapisan badan ini sebagai badan mental. Juga ada yang menyebutnya sebagai pikiran, meski sebenarnya jika dibedah lebih dalam maka lapisan badan ini lebih dari yang dipahami sebagai pikiran oleh kebanyakan orang. Lapisan badan ini bertindak sebagai software dari lapisan badan Ana Mayakosha sebagai hardwarenya. Lapisan badan ini tersusun dari kombinasi antara memori dan kecerdasan/intelek. Memori yang dimaksud disini lebih dari sekedar memori dalam pikiran yang kebanyakan dipahami. Berbagai memori misalnya memori genetik, memori evolusi, memori atom, memori karma, memori pengetahuan, dll.

Analoginya pada sebuah komputer lapisan Mano Mayakosha ini adalah data-data yang ada dalam komputer itu yang bisa dipindahkan ke komputer lain jika komputer lama rusak atau sudah tidak upgrade lagi. Sangat mungkin sekali lapisan Mano Mayakosha yang isinya data-data atau memori kehidupan seseorang inilah yang dikatakan mengalami reinkarnasi kembali, juga sangat mungkin lapisan inilah yang sering dimaksudkan sebagai Jiwa. 

 

Apa yang bisa menyebabkan lapisan badan Mano Mayakosha ini terganggu sistemnya? Yang bisa menganggu sistemnya adalah data-data memori yang bermuatan kebencian, trauma, kemarahan, kesombongan, kesedihan, dan lain-lain yang sejenisnya. Data-data seperti itu akan bertindak layaknya virus atau malware dalam komputer yang bertindak menggangu atau merusak kinerja komputer. Begitu juga dengan pemikiran tentang kebencian, kesedihan, dan lain-lain akan bertindak menganggu kinerja dari pikiran sehingga pikiran tidak bisa bekerja secara optimal. Saat lapisan badan Mano Mayakosha ini terganggu sistemnya maka lapisan badan Ana Mayakosha pun juga bisa terganggu, lapisan Prana Mayakosha pun juga bisa terganggu.  

 

Prana Mayakosha

Prana artinya energi, dan prana dalam tubuh adalah energi yang sangat vital agar sistem dalam badan bisa bekerja. Jadi prana inilah energi yang membuat badan beserta sistemnya ini bisa beroperasi dan berfungsi. Analoginya sebuah laptop adalah harwarenya, windows beserta program-program lainnya (termasuk data-datanya) adalah sofwarenya, dan tenaga listrik yang digunakan agar laptop itu menyala dan bisa beroperasi adalah energinya. Begitu pula dengan lapisan badan Prana Mayakosha dia sebagai energi dari lapisan badan Ana Mayakosha dan Mano Mayakosha. Prana bisa didapat dari makanan, sadhana pranayama, atau sentuhan dari energi lainnya dari luar badan.

 

Apa yang bisa menyebabkan lapisan badan Prana Mayakosha ini bisa terganggu sistemnya? Maka hanya energi juga yang bisa mempengaruhi. Pemikiran bisa mempengaruhi namun secara tidak langsung, karena dari pemikiran akan terbentuk energi tertentu, dan energi itulah yang mempengaruhi.  

 

Vijnana Mayakosha

Ini adalah lapisan badan halus sebagai penghubung antara lapisan Ananda Mayakosha dengan lapisan badan lainnya yang bersifat fisik (Ana Mayakosha, Mano Mayakosha dan Prana Mayakosha). Ini adalah lapisan badan yang memungkinkan kita memiliki pengetahuan atau kecerdasan yang luar biasa. Meski begitu lapisan ini bukanlah data-data seperti lapisan Mano Mayakosha. Lapisan ini adalah perangkat atau sistem atau teknologi yang memungkinkan kita untuk bisa mengakses  kemampuan/kekuatan atau pengetahuan atau kecerdasan yang luar biasa dari alam semesta ini dari pada yang dapat diakses dengan indriya pada umumnya. Bila lapisan Vijnana Mayakosha seseorang tidak berkembang maka dia hanya seperti orang kebanyakan, namun ketika lapisan ini sangat berkembang maka dia akan menjadi orang yang kemampuannya atau pengetahuannya atau kecerdasannya jauh diatas orang kebanyakan. Vijnana Mayakosha akan sangat berkembang jika dilatih dengan sadhana spiritual sehingga lapisan badan Ana, Mano, dan Prana juga sangat berkembang sistemnya. Sesuai dengan tingkat berkembangnya lapisan Vijnana Mayakosha seseorang; maka dia memiliki kewaskitaan, sifat telepatik. Mengetahui suatu kejadian sebelum itu terjadi melalui mimpi, atau pemikiran, atau sebuah penglihatan ke masa depan. Dia juga bisa terlihat oleh banyak orang di banyak tempat yang berbeda dalam waktu yang sama. Dia memiliki kemampuan membaca pemikiran orang lain dan juga mengubahnya. Dia memiliki kemampuan yang menyembuhkan; kata-katanya, sentuhannya atau pandangannya dapat menyembuhkan penyakit yang mematikan. Pada tingkatan tertentu dari berkembangnya lapisan Vijnana Mayakosha ini bahkan dia sanggup masuk ke badan orang lain. Para orang suci yang sanggup merasakan getaran-getaran frekuensi alam, atau mendengarkan suara-suara alam lalu menuliskannya dalam bentuk kata-kata adalah contoh pribadi-pribadi yang lapisan Vijnana Mayakosha nya sangat berkembang. Para ilmuwan dengan penemuannya yang hebat-hebat seperti Einstein dan lainnya adalah juga contoh pribadi yang lapisan Vijnana Mayakosha nya sangat berkembang. Dia seorang Einstein yang jaman itu mampu menangkap frekuensi alam lalu menuliskannya dalam sebuah rumus yang orang lain tidak mampu memikirkannya. Juga seperti Maharesi Bharadvaja yang mampu menangkap frekuensi-frekuensi alam lalu menuliskannya dalam buku yang hingga saat ini kita warisi sebagai Vimana Shastra yaitu sebuah pengetahuan tentang wahana terbang antar tempat, antar planet, antar galaxi dan antar dimensi.

Pada orang yang meninggal lapisan Vijnana Mayakosha ini akan terurai begitu saja menyatu dengan alam semesta. Karena Vijnana Mayakosha ini hanya akan bisa berada di badan jika badan (Ana, Mano, dan Prana) masih bisa berfungsi sebagaimana mestinya untuk hidup, jika tidak bisa lagi berfungsi untuk hidup maka secara otomatis akan lepas begitu saja dan menyatu dengan alam bebas. Misalnya orang yang mengalami kecelakaan dan kepalanya hancur maka tidak mungkin lagi badan Ana Mayakosha bisa hidup tanpa kepala, dan saat itu juga Vijnana Mayakosha akan lepas begitu saja dan bersenyawa terurai kembali dengan alam.

 

Ananda Mayokosha

Dalam literatur Sanskerta kata “ananda" artinya kebahagiaan. Ini adalah lapisan yang sebenarnya bukan hanya halus, namun lebih dari itu yaitu tidak bisa dipikirkan apa itu, hanya bisa dikatakan sebagai lapisan yang murni, lapisan kebahagiaan. Mungkin inilah yang disebut badan kausal, atau mungkin pula inilah yang disebut Atma oleh beberapa sastra. Lapisan ini juga hanya akan bisa berada di badan jika lapisan Ana, Mano dan Prana berfungsi sebagaimana mestinya untuk hidup. Sama seperti Vijnana Mayakosha, lapisan Ananda Mayakosha ini juga hanya akan bisa berada di badan jika badan (Ana, Mano, dan Prana) masih bisa berfungsi sebagaimana mestinya untuk hidup, jika tidak bisa lagi berfungsi untuk hidup maka secara otomatis akan lepas begitu saja dan menyatu dengan alam semesta. Analoginya seperti balon udara yang meletus maka udara dalam balon akan otomatis menyatu begitu saja dengan udara bebas. Begitulah lapisan Vijnana Mayakosha dan Ananda Mayakosha pada orang yang meninggal maka akan menyatu begitu saja dengan alam bebas.

 

 

Pada perihal kematian orang lain maka yang paling terkait adalah kesedihan bagi handai taulan. Pemikiran kesedihan inilah yang bertindak menganggu proses pemikiran, juga menjadi penyebab terbentuknya energi dalam tubuh yang tidak harmoni. Handai taulan yang proses pemikirannya terganggu karena kesedihan maka energi tubuhnya juga terganggu sistemnya. Semakin larut dalam pemikiran kesedihan maka semakin terbentuk energi merugikan dalam badan. Dan akhirnya kondisi badan akan semakin kacau sistemnya. Dalam kondisi seperti itu maka pikiran akan sulit untuk difokuskan pada perihal spiritual. Ada KEMUNGKINAN bahwa kondisi seperti inilah yang dimaksudkan dalam sebuah tradisi sebagai KEADAAN TIDAK SUCI (atau kotor) karena pengaruh orang meninggal. Kalau memang benar maka ini sama levelnya dengan orang yang keadaannya sedang diliputi oleh kebencian, kesombongan, kekecewaan, trauma, depresi, iri, dengki, dll; yang semuanya bertindak menganggu sistem dari Mano Mayakosha itu sendiri dan merembet menganggu Prana Mayakosha dan Ana Mayakosha.

 

Namun lain halnya jika handai taulan ternyata memiliki tingkat kesadaran yang tinggi sehingga tidak mengalami kesedihan perihal kematian itu maka kondisi lapisan-lapisan badannya tidak akan terpengaruh dan tetap pada kondisi alamiah dirinya sendiri.

Jadi pada peristiwa kematian orang TIDAK SELALU BISA membuat sedih handai taulan, tergantung tingkat kesadaran masing-masing. Ada yang sedih, bahkan ada yang berlarut-larut kesedihannya sampai berminggu-minggu atau bahkan berbulan-bulan. Kemungkinan juga ada yang sama sekali tidak sedih karena sadar tentang suatu kematian.

Dan apabila digeneralisir bahwa setiap ada kematian maka handai taulan semua pasti sedih dan dinyatakan BERKEADAAN TIDAK SUCI maka ITU SEBUAH KEKLIRUAN.   

   

 

 

 

Selasa, 10 Oktober 2023

MENGAPA AKHIR-AKHIR INI SAYA SERING DIPERTEMUKAN DENGAN ORANG-ORANG YANG DEPRESI? (pertanyaan seorang remaja yang ternyata sedang dalam kondisi galau)

Ketahuilah bahwa pikiran manusia itu memiliki daya magnetis yang luar biasa yang bahkan kita sendiri tidak menyadarinya karena lebih banyak bekerja dibawah kesadaran kita. Sifat alami pikiran adalah tidak pernah akan berhenti berpikir, dia akan terus memikirkan sesuatu. Namun pikiran bisa dikendalikan, kita sebagai pemilik pikiran kita sendiri bisa menentukan apa yang seharusnya atau tidak seharusnya dipikirkan. Kemampuan kita menentukan itulah contoh pengendalian diri. Pikiran yang terus berproses berpikir secara alami juga memancarkan vibrasi atau getaran (frekuensi) tertentu ke segala arah. Dan karena pikiran terus berpikir maka dia juga terus bervibrasi (berfrekuensi). Dan ketahuilah bahwa antar pikiran semua individu saling berhubungan, ibarat pikiran itu adalah komputer maka antar pikiran individu itu ibarat sejumlah besar komputer yang saling terhubung satu sama lainnya dalam sebuah jaringan internet. Dan pikiran semua individu saling terhubung melalui jaringan “pikiran semesta” yaitu Sang Kecerdasan Semesta itu sendiri.

Antar pikiran bisa saling berbagi, saling menarik, saling mempengaruhi, atau bahkan saling menjauhi. Pemikiran yang ada di dalam pikiran menentukan kualitas dari pikiran itu sendiri; apakah sedang menjadi pikiran yang tajam, tumpul, kuat, lemah, meditatif ataupun kualitas lainnya maka sangat ditentukan berbagai pemikiran yang sedang ada dalam pikiran itu sendiri. Jika pikiran sedang kalut, bingung, sedih , depresi maka vibrasi frekuensi yang dipancarkan pun adalah jenis frekuensi tentang kekalutan, kebingungan, kesedihan, depresi. Begitu juga jika pikiran sedang damai, bahagia, tenang, ceria, gembira maka vibrasi yang dipancarkannya pun adalah jenis frekuensi kedamaian, kebahagiaan, ketenangan, keceriaan, kegembiraan. Dan frekuensi itu memancar dari pikiran dan gelombangnya akan diterima oleh pikiran lainnya lalu terjadi interaksi antar gelombang pikiran dan berproses apakah itu akan saling menarik, saling mempengaruhi, atau saling menjauhi, maka itu tergantung kesamaan kualitas dari kedua pikiran tersebut.

Secara alami pikiran akan saling menarik pikiran lain yang memiliki kualitas yang sama. Jika pikiran kita sedang memikirkan tentang kesedihan, kelemahan, kegalauan; maka kita akan cenderung dipertemukan dengan orang-orang yang juga sedang sedih, lemah dan galau. Dari pertemuan itu bisa jadi berlanjut pada pembicaraan seputar pemikiran itu dan terjadilah “saling berbagi” pemikiran untuk suatu tujuan. Begitu juga jika pikiran kita sedang memikirkan tentang kebahagiaan, kesenangan, keceriaan atau lainnya; maka kita akan cenderung dipertemukan dengan orang-orang yang sedang bahagia, senang, ceria.

Diantara gelombang-gelombang pikiran yang lemah, jika ada pikiran yang kuat maka yang kuat bisa masuk dalam interaksi itu. Mengapa? Ya karena dia kuat. Dan yang kuat bisa hadir sebagai “energizer”. (pemberi energi atau semangat atau solusi) terhadap yang lemah. Dalam posisi ini gelombang frekuensi pikiran yang kuat sebagai pemberi pengaruh pada yang lemah.  

Orang yang sedang saling “curhat” pengalamannya dan saling perhatian antara keduanya adalah orang-orang-orang yang memiliki kualitas frekuensi yang serupa. Orang yang saling berbagi satu dengan lainnya juga orang-orang yang gelombang frekuensi pikirannya serupa. Orang yang menjauhi atau saling menjauhi antara satu dengan lainnya berarti ada “crash” gelombang frekuensi pikiran diantara keduanya, sehingga mendorong salah satu atau keduanya secara bawah sadar untuk saling menjauhi. Juga……..DUA ORANG SEJOLI SALING JATUH CINTA OLEH KARENA SAMA-SAMA MEMILIKI GELOMBANG FREKUENSI TENTANG CINTA YANG SALING TARIK-MENARIK.

 BY AGUSWI

ARCHANGEL 

HARI RAYA SARASWATI berpesan “jadilah orang yang cerdas”, Hari Raya PAGERWESI berpesan “bentengi dirimu dengan kecerdasanmu”

        Hari raya Saraswati dikemas dirayakan lebih dahulu baru kemudian dilaksanakan hari raya Pagerwesi, itu selalu dan akan terus seperti kita. Mengapa? Perlu kita ketahui bahwa satu-satunya hal yang dapat kita jadikan benteng atau pertahanan dalam diri kita hanyalah pengetahuan. Tanpa pengetahuan maka manusia akan mengalami kebodohan (avidya), dari kebodohan maka manusia akan sangat beresiko terjerumus dalam berbagai penderitaan dalam setiap kehidupannya. Tanpa pengetahuan yang baik manusia tidak akan bisa berpikir berkata-kata dan bertindak dengan benar. Tanpa pengetahuan sangat mungkin pemikiran orang akan liar tidak tentu arah sehingga membawa pada ketidakbenaran. Tanpa pengetahuan bisa jadi kata-kata pun tidak terkendali sehingga sering melontarkan kata-kata yang tidak baik. Dan ketika pemikiran dan kata-kata tidak terkendali maka tindakannya pun akan seperti itu pula, menjadi tidak terkendali. Dan hari Saraswati adalah hari ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan harus mendapatkan jalannya terlebih dahulu untuk mengalir ke dalam diri seseorang, barulah jika pengetahuan itu sudah ada di dalam diri baru bisa difungsikan salah satunya sebagai benteng dalam diri. Itulah alasan mengapa Saraswati merupakan hari raya yang lebih dahulu dilaksanakan beberapa waktu sebelum Pagerwesi.

        Namun perlu dipahami bahwa sebagaimana air hanya akan bisa mengalir ke tempat yang lebih rendah, begitu juga air pengetahuan hanya akan bisa mengalir kepada mereka yang memiliki kerendahan hati. Orang-orang yang angkuh, sombong, congkak, penuh kedengkian, pemarah, mudah emosional, mudah membuli, gampang memprovokasi maka pengetahuan yang benar tidak akan bisa mengalir kepada orang-orang seperti itu. Dibutuhkan orang yang “pangerten” (ungkapan Jawa) yang artinya mau memahami, mau menyadari, mau mencari kebenarannya, mau bertoleransi. Barulah setelah pengetahuan itu bersenyawa dalam diri seseorang dan membentuk sebuah komposisi kesadaran maka dia bisa memfungsikannya sebagai “way of life” salah satunya sebagai benteng dalam diri; benteng yang memagari diri untuk tidak terpapar dalam berbagai pemikiran yang buruk, benteng yang memagari diri dari paparan tindakan yang asusila, benteng yang memagari diri agar setiap ucapan tidak keluar dari konteks kebenaran.

        Seringkali kita membaca postingan di medsos begitu mudahnya seseorang mencaci, memaki, membuli, memprovokasi, merendahkan, dsb; itu mengindikasikan bahwa orang tersebut tidak memiliki benteng dalam dirinya sehingga dia dengan mudahnya terpapar dalam perilaku yang sama sekali tidak mencerminkan kesopanan dan kesantunan. Sifat-sifat buruk seperti itu akan menjadi sebuah penghalang atau blokir terhadap aliran pengetahuan ke dalam dirinya.

Pengetahuan memiliki kekuatan yang luar biasa, sebagaimana api yang mampu membakar benda hingga menjadi abu, begitu pula api pengetahuan akan sanggup membakar berbagai penderitaan dan kesengsaraan yang dialami seseorang. Bhagavadgita memberikan penjelasan bahwa dengan pengetahuan orang yang paling berdosa sekalipun akan sanggup menyeberangi lautan penderitaan.

Pagerwesi menurut lontar Sundarigama disebutkan :

“budha kliwon shinta ngaran pagerwesi payogan Sang Hyang Pramesti Guru kairing ring watek Dewata Nawa Sanga ngawerdhiaken sarwa tumitah sarwatumuwuh ring bhuana kabeh.”

Artinya:

Rabu Kliwon Shinta disebut Pagerwesi sebagai pamujaan Sang Hyang Pramesti Guru yang diiringi oleh Dewata Nawa Sanga (Sembilan Dewata) untuk mengembangkan segala yang lahir dan segala yang tumbuh di seluruh dunia.

 

“Sang Purohita ngarga apasang lingga sapakramaning ngarcana paduka Prameswara. Tengahiwengi yoga samadhi ana labaan ring Sang Panca Mahabhuta, sewarna anut urip gelarakena ring natar sanggah”

Artinya:

Sang Pandhita hendaknya ngarga dan mapasang lingga sebagaimana layaknya memuja Sang Hyang Prameswara. Tengah malam melakukan yoga samadhi, ada persembahan untuk Sang Panca Mahabhuta yang warnanya menurut uripnya dan ditempatkan di tempat pemujaan.

 

“Ngawerdhiaken” artinya mengembangkan, tumitah artinya yang terlahirkan, tumuwuh artinya tumbuh-tumbuhan. Dalam ungkapan Jawa ini sama dengan “Memayu Hayuning Bhuwana” yang artinya mengembangkan, melestarikan, menjaga segala bentuk kehidupan. Segala bentuk kehidupan ini harus dikembangkan, dilestarikan dan dijaga; karena apabila itu tidak dilakukan maka manusia akan dilanda penderitaan lahir maupun batin entah sebagai dampak dari yang terjadi secara global atau pun karena dirinya sendiri. Misal saja tumbuh-tumbuhan (pertanian ) tidak dikembangkan dan dilestarikan maka akibatnya adalah kemiskinan dan kelaparan. 

Dalam konteks sekarang, kata “sang purohita” ini ditujukan kepada kita semua yaitu orang-orang yang memiliki keluhuran budhi sebagaimana para purohita (pandhita) yang memiliki sifat-sifat mulia. Dan hendaknya mereka yang memiliki keluhuran budhi, yang memiliki kesadaran diri melakukan yoga samadhi. Jadi inilah hakikat dari Pagerwesi bahwa dengan segenap pengetahuannya seseorang hendaknya melakukan yoga samadhi. Menurut Yoga Sutra yang ditulis oleh Maharsi Patanjali bahwa “Yoga adalah untuk mengendalikan gelombang-gelombang pikiran” Mengapa pikiran perlu dikendalikan? Agar supaya pikiran tidak larut dalam berbagai gelombang pemikiran terutama pemikiran yang buruk yang memungkinkannya untuk kehilangan sifat sejatinya. Semakin gelombang-gelombang pemikiran itu dibiarkan, maka semakin mengganggu kinerja dari pikiran, bahkan bisa membuat pikiran menjadi galauw, stress hingga gila. Sehingga dengan kondisi pikiran yang seperti itu maka tingkat kesadaran seseorang menjadi menurun dan akibatnya mudah berprilaku yang tidak pantas hingga kejam. Yoga samadhi tidak bisa diartikan sempit sebagaimana asumsi kebanyakan orang yaitu “duduk diam hening tidak bergerak sama sekali”, tetapi lebih luas dari itu yaitu tertuang dalam konsep Astangga Yoga dimana pada bagian awal berkaitan dengan pengendalian perilaku kita sehari-hari yaitu Yama dan Nyama. Bahwa sebelum menjalankan laku sadhana inti atau puncak dari Yoga yaitu Samadhi maka syaratnya adalah perilaku sudah mencerminkan sebuah keluhuran budhi. Tanpa keluhuran budhi (sifat-sifat yang mulai) maka laku sadhana yoga tahap lanjutan adalah sia-sia belaka. Karena pengetahuan yang terkandung dalam inti atau puncak laku sadhana yoga tidak akan bisa mengalir dalam diri, oleh karena terblokir oleh sifat-sifat buruk dalam diri.

Buatkan jalan berupa kemuliaan diri bagi pengetahuan untuk bisa mengalir dan bersenyawa dalam sang diri dan membentuk sebuah komposisi kesadaran yang tinggi. DAN ORANG YANG CERDAS ADALAH ORANG YANG SANTUN DALAM BERPIKIR BERKATA DAN BERBUAT.

Saat pengetahuan sudah mengambil peran dalam komposisi kecerdasan maka hendaknya kita menggunakan kecerdasan itu untuk segala sesuatu yang bermanfaat bagi kehidupan, bukan malah sebaliknya yang menentang hukum kehidupan, menodai atau bahkan menghancurkan sendi-sendi kehidupan. Dunia ini akan damai bila seluruh penghuninya bisa menggunakan kecerdasannya dengan tepat.

Jadi hanya pengetahuanlah yang bisa dijadikan benteng yang kuat dalam diri agar segala kecenderungan atau sifat-sifat yang buruk tidak mampu menyentuh sang diri sehingga tujuan hidup bisa tercapai.  

 

Aguswi

ARCHANGEL

MENGAPA PARA RESI DI JAWA (MUNGKIN JUGA SUNDA) LEBIH SERING MEMILIH DUDUK DI BAWAH DI ATAS TANAH BERALASKAN TANAH ATAU BAHKAN TIDAK BERALASKAN SAMA SEKALI SAAT MELAKUKAN PEMUJAAN?

  Bumi tempat kita hidup ini yang dalam berbagai sastra disebut Pertiwi adalah sumber kehidupan bagi semua makhluk hidup di dalamnya. Pertiw...